(Sumber : Superball.ID)

Tendangan Penalti: Sepak Bola Indonesia dan Nasionalisme

Opini

Olah raga sepak bola adalah sebuah pertunjukan atau drama yang bisa menghadirkan kegembiraan dan sport jantung. Detak jantung menjadi berdegub cepat karena menonton pertandingan sepak bola. Perasaan dan emosi bisa masuk di dalam pertandingan, padahal kita hanyalah penonton, bahkan penonton di televisi. Drama sepak bola tersebut tersaji di dalam pertandingan antara timnas sepakbola Indonesia dan timnas sepakbola Korea Selatan dalam ajang Piala Asia yang diselenggarakan di Qatar, 23/04/2024.

  

Saya jelas bukan penggila bola. Saya hanyalah seorang penonton bola yang pada akhir-akhir ini jarang menonton permainan sepak bola. Jika di masa lalu, kira-kira tahun 1990-an, saya termasuk penggemar berat sepak bola. Club yang saya gandrungi adalah AC Milan dan Real Madrid. Club sepak bola Inggris saya tidak tertarik.  Hanya dua club itu yang saya usahakan menonton jika keduanya bertanding. Sehebat apapun Manchester United dengan Alex Ferguson, tetapi saya tidak tertarik untuk menontonnya. Jika tim kesebelasan nasional (timnas), maka saya tentu pasti menjagokan Brazil atau Belanda. Sehebat apapun Argentina, saya juga tidak tertarik untuk menjadi pengagumnya. Padahal di Argentina terdapat Maradona dan Messi. Saya juga tidak tertarik dengan Barcelona padahal di situ juga ada Messi. Tetapi jangan bertanya kekaguman saya kepada Ronaldo, Carlos, Ronaldinho di timnas Brazil. Ketertarikan saya kepada timnas Belanda karena di masa lalu ada trio hebat, Marco Van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Tentu bukan karena Gullit itu berdarah Indonesia. 

  

Ihwal timnas Indonesia dalam ajang Piala Asia 2024 memang membuat decak kagum masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, tentu saya menjadi sangat senang dengan langkah positif timnas sepak bola U 23 yang sedang berlaga di Piala Asia 2024. Timnas sepak bola yang semula dianggap underdog, bahkan di tingkat Asia Tenggara, tiba-tiba menjadi timnas unpredictable yang dapat berkiprah di tingkat Asia. Semula kita juga ragu akan kemampuan timnas ini terutama pasca kekalahan dari timnas  Qatar apalagi dengan skor 2:0. Terlepas dari perilaku wasit yang dinyatakan unfairness, tetapi tetap saja itu sebagai kekalahan. Tetapi jangan lupa, bahwa timnas  besar seperti Argentina dan Jerman juga pernah kalah di fase grup, bahkan pada permainan perdana, dan akhirnya juga menjadi juara. 

  

Kekalahan pertama ini ternyata tidak menyurutkan nyali timnas Indonesia, terbukti pada laga kedua melawan Australia, timnas  Indonesia menang, meskipun dengan skor tipis 1:0. Kemenangan ini tentu belum membuat kita bangga, sebab bisa jadi kerena kebetulan. Tetapi pasca timnas Indonesia menghancurkan Yordania, dengan skor telak 4:1, harapan akan kehebatan timnas Indonesia menjadi semakin menguat. Nyaris semua komentar di media social mulai mengelu-elukan timnas U 23.

  

Tibalah saatnya untuk menghadapi tim besar bertabur bintang, timnas Korea Selatan. Negeri asal pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-Yong. Timnas yang memiliki penyerang yang andal dan pemain bertahan yang aduhai. Terbukti selama pagelaran Piala Asia  gawang Korsel berada dalam posisi clean sheet. Siapa yang tidak kenal dengan timnas Korea Selatan, sebuah tim yang kuat dan beberapa kali menembus piala dunia. Bahkan pernah masuk dalam semi final piala dunia. Saya lupa tahun berapa. Ibaratnya seperti David versus Gholiat. 

  

Tetapi dua kemenangan atas Timnas Australia dan Yordania tentu bukan karena hadiah tetapi benar-benar karena kematangan, kedewasaan dan profesionalitas para pemain Timnas Indonesia. Kombinasi pemain hasil naturalisasi dan pemain lokal ternyata merupakan racikan hebat dari Shin Tae Yong untuk Timnas Indonesia. Dukungan Erick Thahir, Ketua Umum PSSI, ternyata bergayung sambut dengan keinginan pelatih Timnas Indonesia untuk membangun skuad Garuda Muda yang hebat dan menjanjikan. Tetapi upaya seperti ini tentu bukan tanpa kritik. Banyak yang menganggap upaya seperti ini akan mematikan para pemain  Indonesia, misalnya di Kompetisi Proliga. Tetapi ini adalah kritik.

  

Saya menjadi teringat kala Pak Ali Sadikin, menjadi Ketua Umum PSSI dan  Gubernur DKI, juga pernah menggemparkan Indonesia, sebab pada tahun 1990-an melakukan upaya untuk menarik pemain top dari negara lain untuk bermain di liga Indonesia. Ada David Lee, penjaga gawang,  dan Fandi Ahmad, penyerang,  yang bermain di Club Sepak bola Niac Mitra Surabaya. Liga Indonesia sudah mulai hidup akan tetapi lalu muncul isu nasionalisme dalam sepak bola yang disuarakan oleh Bardosono dkk. Akhirnya dilakukan koreksi untuk melarang pemain asing bermain di Liga Indonesia. Lama sekali sepakbola Indonesia terpuruk dan baru pada tahun 2000-an kebijakan tentang kebolehan pemain asing merumput di Indonesia. Shin Tae Yong adalah pelatih yang sangat gigih untuk mempertahankan pendangannya dan melalui support Erick Thohir, seorang pecinta bola yang pernah memiliki salah satu Club di Italia akhirnya kebijakan tersebut running up di timnas Indonesia. 

  

Indonesia dipastikan masuk ke semi final dalam ajang Piala Asia 2024 melalui perjuangan dramatis yang membuat jantung berdegub keras. Saya tentu tidak akan menyoroti jalannya adu tendangan penalti. Biar Bang Towel saja yang berkomentar. Tetapi yang jelas bahwa Indonesia berhasil mengalahkan Korea Selatan dengan angka 11:10 dalam adu penalti, dan sebelumnya bermain imbang 2:2 dalam waktu 120 menit. Kita sungguh melihat drama sepak bola dalam permainan bola bundar dalam ajang Piala Asia 2024. Kita semua menikmati dan merasa lega kala pertandingan usai dan Indonesia memenangkan pertandingan dimaksud.

    

Sepakbola bukan hanya sekadar sebuah permainan tetapi adalah harga diri bangsa. Kalimat ini terasa absurd. Di sinilah perasaan kebangsaan dan nasionalisme itu bercampur baur dengan sebuah permainan bola bundar. Sebelas orang pemain merupakan representasi dari negara. Mereka mengekspresikan kekuatan bangsa. Di dalamnya ada konsep, strategi dan teknik serta manajemen kepalatihan yang luar biasa. Semua bersatu padu dengan para penonton yang tidak henti-hentinya memberikan support atas tim kesayangannya. Teriakan menggema dari supporter di dalam lapangan dan juga penonton di televisi sungguh menggambarkan akan kesepadupadanan  visi dan misi kebangsaan. 

  

Bagi orang yang di dalamnya terdapat rasa nasionalisme, maka dipastikan akan merasakan betapa beratnya menjalani pertandingan dalam satu sesi adu tendangan penalti. Jantung saya berdegup cepat setiap kali penendang timnas Indonesia mengambil ancang-ancang untuk menendang bola. Jika tendangan tersebut masuk ke gawang Korsel, maka meluncur dengan cepat kalimat: Alhamdulillah. Jika pemain Korsel mengambil ancang untuk menendang bola, maka meluncur doa:  jangan kebobolan. Dan jika bola masuk ke gawang Indonesia, maka kita berteriak tidak terima. Coba perhatikan betapa heroiknya komentator pertandingan yang selalu meneriakkan ungkapan: “nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan,” jika terdapat peluang yang bagus dan tidak berakhir dengan gol. Bahkan juga banyak pesantren yang melakukan istighosah untuk mendukung Timnas Indonesia.

  

Inilah sepak bola. Hanya sebuah permainan dalam ajang oleh raga tetapi dapat menjadi indikator atas bagaimana rasa nasionalisme dan kebangsaan tersebut terekspresi dalam waktu yang bersamaan. Tendangan penalti ternyata bisa membawa aura nasionalisme dan kebangsaan mengeksis di dalam dada seseorang yang merasa sebagai bangsa Indonesia.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.